PERGAULAN PRIA DAN WANITA DALAM ISLAM



 
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT. untuk mengatur kehidupan manusia. Cukup dengan berpegang teguh pada ajaran Islam, seorang muslim dapat mengarungi kehidupannya dan memecahkan setiap problematika kehidupannya. Aturan Islam yang lengkap dapat menjamin keslamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Sejarah telah membuktikan hal ini, lebih dari 10 abad, aturan islam telah mampu menjamin kehidupan manusia dengan keadilan luar biasa. Syariat Islam mampu menjamin ketentraman hidup manusia, sehingga orang-orang non-Islam pun terntram hidup dalam naungan-Nya. Sudah seharusnya kaum muslimmin kembali mengkaji, menelah, mengamalkan, dan menjaga ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita bergantung, semoga dengan apa yang saya sampaikan ini, Allah member kita petunjuk untuk senantiasa berada dalam keridhaan-Nya.
A.   Keberadaan Pria Dan Wanita Menurut Islam
Islam merupaakan sistem hidup yang khas bagi manusia dan pasti sesuai dengan fitrah manusia. Islam sebagai suatu pola dan sistem hidup yang memiliki perbedaan yang besar, mendasar, dan bertentangan dengan sistem dan pola hidup lainya seperti Kapitalisme/Sekularisme, sosialisme-komunisme, atau agama lain.
Berkaitan dengan hal itulah, maka islam telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin untuk hidup berada di bawah naungan aturan yang terdapat dalam Islam. Dan sebagai konsekuensi yang logis dari keimanan seorang muslim dituntut untuk menjadikan hanya Islam sebagai satu-satunya miqyas Al’Amal (standar perbuatan), asasul hayah (landasan kehidupan), dan qaidah wa qiyadah fikriyah (acuan berfikir) dalam kehidupan. Sebab Islam tidak hanya menyangkut tentang masalah keyakinan dan peribadahan belaka, melainkan juga memberikan aturan hukum dalam mengatur kehidupan manusia, baik individu, keluarga, maupun masyarakat. Islam juga memberikan pemecahan/solusi terhadap setiap problematika kehidupan manusia.
Dalam pandangan Islam, Allah SWT. menciptakan manusia terdiri atas pria dan wanita dengan fitrah yang khas dan berbeda dengan hewan. Wanita adalah manusia, begitu pula seorang pria. Satu sama lainnya dari sisi kemanusiaannya adalah sama. Begitu pula dari sisi yang lain satu  sama lainnya tidak memiliki kelebihan sebagaimana firman Allah SWT.
“Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kalian disisi Allah SWT. adalah yang paling bertaqwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti” (Al-Hujurat:13).
Allah SWT. telah mempersiapkan keduanya untuk berperan dalam kancah kehidupan sebagai insan dan menjadikan keduanya hidup berdampingan secara pasti dalam satu masyarakat, sebagaimana firman-Nya:
“….Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan….”(QS. An-Nisaa’:32)
Allah SWT. telah manjadikan kelestarian komunitas manusia tergantung pada perpaduan dan keberadaan pria dan wanita dalam setiap masa dan generasi suatu masyarakat, sebagaiman firman-Nya:
Wahai manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan” (QS. An-Nisaa’:1)
Oleh karena itu, tidak dibenarkan dalam Islam jika hanya memperhatikan salah satu diantara keduanya, karena keduanya adalah manusia yang dilengkapi dengan segala kekhususan sebagai manusia serta sendi-sendi kehidupan yang sama. Allah SWT. telah menciptakan pada setiap pria dan wanita potensi kehidupan (hajatun ‘udlawiyah dan gharizah). Disamping itu, Allah SWT. telah menciptakan pula bagi keduanya kekuatan berfikir dengan kadar yang sama, karena Allah menciptakan akal sebagai tempat bergantung bagi pengamalan syariat-Nya (manathut taklif), maka apa yang dibebani untuk mengamalkan-Nya adalah manusia. Firman Allah SWT.:
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al-Qiyamah:36)
Atas dasar tersebut, maka pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban, serta tanggung jawab bersama. Ketika hak dan kewajiban itu bersifat manusiawi (insaniyah) maka akan dijumpai adanya persamaan hak dan kewajiban, persamaan dalam memikul tanggung jawab sehingga keduanya bersama-sama sepenaungan. Bertolak dari hal ini, Islam tidak membedakan pria dan wanita dalam mengajak manusia kepada keimanan dan menjalankan syariat-Nya. Allah SWT. berfirman:
“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia…” (QS. Saba:28)
Dengan demikian jalaslah bahwa Islam telah mempersamakan keduanya dalam berbagai kewajiban ibadah, dakwah, tata hukum muamalah, dll. Islam juga akan menjatuhkan hukuman dan sanksi kepada keduanya atas tindakan pelanggaran mereka terhadap hukum Allah SWT., tanpa membedakan jenis keduanya.
Jadi, manusialah yang dijadikan Allah sebagai sasaran keharusan mengamalkan syariat, tidak hanya laki-laki saja, atau wanita saja, tetapi keduanya. Allah SWT. akan meminta pertanggung jawaban manusia dan Allahlah yang berwenang menentukan manusia apakah berada dalam surga ataukah neraka.
B.   Sistem Sosial Islam
Lingkup pembahasan kehidupan sosial adalah seputar pertemuan daninteraksi antara pria dan wanita, baik dalam kehidupan umum maupun kehidupan khusus. Sebab pertemuan keduanya berpeluang besar untuk menimbulkan masalah jika tidak diatur, seperti seks bebas. Sementara pertemuan keduanya merupakan suatu urusan dalam rangka menjalankan peran mereka masing-masing dalam kehidupan ini.
Sistem sosial ini adalah seperangkat aturan yang diturunkan Allah agar pemenuhan naluti mempertahankan keturunan terarah, sehingga kemuliaan derajat manusia tetap terpelihara



C.   Kebolehan bertemu
Ikhtilath (percampuran) adalah berkumpulnya pria dan wanita dalam  keadaan tercampur-baur dan terjadinya interaksi diantara mereka, seperti makan-minum bersama-sama. Dengan demikian, terdapat dua unsur di dalamnya, yaitu ijtima (berkumpul) dan ‘alaqat (interaksi). Berkumpul saja tidak dapat dinamakan ikhtilath, sehingga seorang wanita yang berada di smaping seorang laki-laki di kendaraan umum (bis kota, angkot, pesawat, KA, dll) tidak dinamakan ikhtilath. Berinterasi saja tanpa terjadinya ijtima’ (berkumpul) tidak dinamakan ikhtilath, misalberbicara lewat telepon. Oleh sebab itu untuk dinamakan ikhtilath haruslah terjadinya ijtima’ (berkumpul) pria dan wanita, yang di dalamnya terjadi pula interaksi (bercampur baur).
Inilah kenyataan mengenai ikhtilath. Hukum syara’ yang berhubungan dengan ikhtilath wajib diterapkan sesuai dengan kenyataan ini. Apabila kenyataan ini sesuai dengan hukum syara’, maka ia menjadi hukum yang telah ditetatpkan dan bila tidak sesuai maka tidak ada ketetapan hukum di sana. Adapun berkumpulnya pria dan wanita, maka dalil-dalai syar’iy yang menyangkut hubungan pria dan wanita berdasarkan dalalatul iltizam (makna yang ditunjukkan lafadz/mafhum muwafaqah) adanya larangan secara umum. Antara lain diharamkan bagi pria untuk melihat aurat wanita yang bukan mahramnya, sekalipun hanya rambutnya. Larangan tersebut bersifat mutlak, baik diiringi dengan syahwat atau tidak. Demikian pula bagi wanita untuk membuka auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, walaupun yang terbuka itu sebatas leher. Larangan ini bersifat umum, baik dilihat pria ataupun tidak. Hukum syara’ rtelah mewajibkan pula kepada pria dan wanita untuk menahan pandangannya dan diharamkan pula bagi wanita untuk melakukan perjalanan seorang diri tanpa mahramnya sekalipun untuk melakukan ibadah haji.
Syara’ menetapkan bahwa setiap wanita dalam shalat dimasjid berada di belakang shaf pria dan terpisah. Tetapi dalam pengajian, Rasulullah SAW. telah memenuhi permintaan kaum wanita, karena permohonan wanita: “Kami telah dikalahkan kaum pria, maka berikanlah (pengajian khusus) untuk kami pada suatu hari”. Hadits ini menjelaskan bahwa ketika kaum pria dan wanita sedang bersama-sama mendengar pengajian Rasulullah SAW., kaum wanita tidak dapat mendengar (dengan baik) karena terhalang pria yang berada di shaf depan sehingga kaum wanita meminta kepada Rasulullah SAW. agar memberikan pengajian (khusus bagi mereka) pada suatu hari.
Hukum syara’ juga tidak membolehkan kesaksian wanita dalam perkara pidana (jinayat). Dalil tentang hukum-hukum tersebut di atas menunjukkan bahwa berdasarkan dalalatu al iltizam agar kaum wanita dipisahkan dari kehidupan pria. Kaum pria tidak dibolehkan bergaul (dengan cara berkumpul) dengan kaum wanita. Di samping itu bentuk kehidupan kaum muslimin di masa Rasulullah  saw. terpisah antara pria dan wanita. Pemisahan ini memiliki adanya larangan berkumpulnya laki-laki dan wanita.. Jadi dalil umum hukum syara’ yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan wanita menunjukkan secara pasti dan tidak samar tentang pemisahan pria dan wanita. karena dalil-dalil tersebut datang dalam bentuk qath’iy tsubut dan dalalahnya, baik dari Al Qur-an maupun hadits mutawatir. sehingga pemisahan antara pria dan wanita bagi kaum muslimin merupakan hal yang telah diketahui sebagai ma’lumun minad diini bidharurah (diketahui dengan sendirinya sebagai suatu urusan agama yang penting dan bermakna wajib) karena kuatnya dalil-dalil tersebut tidak memerlukan komentar lagi.
Sesungguhnya syara’ telah menetapkan bagi kaum muslimin adanya kehidupan khusus dan umum (bermasyarakat). Adanya kehidupan khusus, syara’ telah menunjukkan dalil-dalil tertentu yang menunjukkan adanya ketentuan berkehidupan seperti ini serta dalil-dalil yang berkaitan dengannya. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan adanya kehidupan khusus adalah bahwa lingkungan rumah tangga telah dijadikan sebagai kehidupan khusus. Syara’ telah mengharuskan meminta izin ketika seseorang hendak memasuki rumah yang bukan miliknya. hal ini membuktikan adanya kehidupan khusus. Berkaitan  dengan hal itu, dalil-dalil yang menyebutkan lafadz buyut (rumah-rumah) merupakan petunjuk dan bukti adanya kehidupan khusus tersebut. Adapun yang dimaksud dengan rumah adalah penghuni dan keadaan rumah tangga, dan bukan bangunan atau gedungnya. Allah SWT. berfirman:

“(dan) tanyalah (penduduk) kampung/negeri itu….” (QS. Yusus:82).

Kalimat “Tanyalah kampung negeri itu” yang dimaksudkan adalah penduduknya. demikian pula lafadz rumah di dalam  dalil tersebut, maksudnya adalah penghuni rumah dan keadaan kehidupan dalam rumah itu (kehidupan khusus). Kata-kata buyut (rumah) dalam berbagai ayat-ayat Al-Qur’an Al-Karimseperti dalam:

“...Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu…” (QS.An Nuur:27).

“…Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah…” (QS.An Nisaa:15).

“…Di rumahmu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu…” (QS.An Nuur:61).

Lafadz rumah (buyut) dalam ayat-ayat tersebut di atas dan yang lainnya menunjukkan adanya kehidupan khusus. dengan demikian kaum muslimiin memiliki kehidupan khsusus sesuai dengan nash-nash yang ada.
Kehidupan khusus ini mempunyai indikasi yang menunjukkan perbedaan kehidupan tersebut dengan kehidupan lainnya yang mempunyai hukum-hukum yang khusus pula. Adapun indikasi itu adalah perintah untuk meminta izin ketika hendak memasuki rumah kepada orang yang berwenang untuk memberi izin (penghuni rumah), sebgaimana firman Allah SWT.:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumah-mu…”(QS.An Nuur:27).

Ayat tersebut di atas berarti melarang memasuki rumah dan juga melarang secara umum terhadap semua hal yang berkaitan dengan larangan masuk tersebut, berdasarkan dalalatul iltizam. Kasus larangan memasuki rumah mengharuskan larangan terhadap seluruh hal yang berkaitan dengannya, seperti makan, minum, berbicara, memberikan pelajaran, dll yang memerlukan izin masuk ke dalamnya. Maka selama adanya larangan masuk ke dalam rumah selama itu pula terdapat larangan serupa yang berkaitan dengan larangan masuk, sebab: “Larangan terhadap sesuatu mengharuskan adanya larangan terhadap hal-hal yang berkaitan dengannya”
Jadi, berdasarkan dalalatul iltizam/mafhum muwafaqah telah ditetapkan bahwa hukum kehidupan khusus adalah tahrim (terlarang) terhadap segala sesuatu, termasuk larangan memasukinya dan segala perkara yang berkaitan dengannya.  Jadi firman Allah SWT: “…Janganlah kamu memasuki rumah…” memiliki makna pula: Janganlah kamu bercakap-cakap dengan penghuninya, janganlah kamu makan-minum, dan janganlah kamu melakukan sesuatu apapun yang berkaitan dengan larangan masuk ke dalam rumah. Karena larangan masuk berarti larangan terhadap semua hal yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu, agar dibolehkan memasuki  (suatu rumah) dan semua hal yang berkaitan dengannya diperlukan adanya nash syara’ yang membolehkan masuk serta yang berkaitan dengannya. karena dalil pelarangannya bersifat umum, sedangkan keumuman dalil tetap berlaku selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Oleh sebab itu, harus diperoleh nash syara’ yang membolehkannya sehingga terlepas dari keumuman dalil. dan selama belum diperoleh nash syara’ yang mengkhususkan maka tidak dibenarkan adanya pengecualian dari dalil yang bersifat umum, yaitu yang melarangnya.
Syara’ telah menetapkan kebolehan memasuki rumah di samping menetapkan kebolehan makan (di rumah) orang-orang tertentu, juga menjelaskan kebolehan kunjungan silaturahmi, kebolehan  melihat aurat wanita muhrim (dalam bats tertentu), berbicara dengan mereka, dll.nya yang termasuk dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh nash tentang kehidupan yang bersifat khusus. Atas dasar inilah (yang sudah ditetapkan syara’ tentang kebolehannya) dibolehkan beberapa hal dalam kehidupan khusus, yang berarti dikecualikan dari larangan memasuki rumah sehingga termasuk pada bagian nash yang membolehkan. hal-hal yang tidak disebutkan oleh nash syara’ tidak dikecualikan dari larangan. diizinkan masuk berarti dibolehkan untuk masuk. Adapun kebolehan masuk ini bukan disebabkan oleh adanya izin akan tetapi karena syara’ telah menentukan atas kebolehannya, tidak termasuk hal-hal yang menyangkut keperluan untuk memasuki rumah, karena syara’ telah membolehkan masuk rumah dengan izin, dan tidak membolehkan selain dari itu. Maka kebolehan tersebut khusus untuk memasuki rumah sebab larangan tersebut mengharuskan adanya keumuman nash, akan tetapi adanya izin untuk memasuki rumah itu tidak mencakup dibolehkannya makan dan minum, sebab dalil yang melarang bersifat umum. Adapun dalil tentang dibolehkannya memasuki rumah bersifat khusus terbatas  hanya boleh memasuki rumah karena terdapat nash tentang hal tersebut yang ada (boleh masuk rumah) tidak mencakup hal yang lain. Sehingga dalaltul iltizam tidak berlaku di sini.
Demikian pula syara’ telah menetapkan dibolehkannya makan, minum bagi orang-orang tertentu sesuai dengan firman Allas swt.:
“…Dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah bapak kamu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu memiliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. tidak ada halangan bagimu makan bersama-sama mereka atau sendirian” (QS.An Nuur:61).

Nash ini berlaku bagi mereka setelah adanya izin memasuki rumah untuk makan, minum. Berarti nash ini adalah pengecualian bagi mereka untuk memasuki rumah. Sedangkan izin untuk makan, kepada mereka dibolehkan pula untuk berkumpul (ijtima’) dalam jamuan makan. jadi khusus menyangkut jamuan makan dan hanya menyangkut jamuan maka; hanya berlaku bagi mereka saja tidak termasuk orang lain. Hal ini ditinjau dari segi dalalahnya.
Demikian pula perintah syara’ untuk bersilaturahmi, perintah tersebut menunjukkan kebolehan berkumpul dengan wanita-wanita yang masih ada hubungan famili (uli arham), apabila mereka datang untuk bersilaturahmi, sekalipun mereka yang datang itu paman atau kemenakan dll, selama mereka termasuk orang-orang yang diperintahkan bersilaturahmi. Begitu pula syara’ telah membolehkan para kerabat melihat aurat mahramnya, dibolehkan pula bagi wanita mahram menampakkan sebagian auratnya terhadap sesama mahramnya. hal ini menunjukkan dibolehkan berkumpul dengan mereka dalam kehidupan rumah tangga (khusus). Jadi, mereka setelah mendapat izin untuk masuk dibolehkan berkumpul dengan wanita mahramnya. dengan demikian setiap orang yang termasuk di dalam nash, yang dibolehkan melakukan sesuatu selain memasuki rumah, maka mereka dibolehkan sebatas apa yang ditentukan nash. Sebab ini merupakan pengecualian berdasarkan nash. dan sesuatu yang tidak disebutkan oleh nash maka tidak boleh melakukannya.
Bertemunya pria dan wanita yang tidak ada hubungan mahram dalam kehidupan khusus secara mutlak diharamkan, sebab termasuk dalam nash yang melarangnya dan tidak terdapat nash yang mengecualikannya. Oleh sebab itu hukumnya haram. Jadi ikhtilath dalam kehidupan khusus diharamkan dan tidak dibolehkan kecuali terhadap orang-orang yang oleh syara’ dibolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu. dalam kehidupan khusus (rumah tangga) diharamkan berkumpul  seorang pria dengan wanita berdasarkan dalil yang khusus, disamping yang umum yang menjelaskan terpisahnya kehidupan pria dan wanita.
Adapun kehidupan masyarakat yang bersifat umum berdasarkan dalil-dalil yang umum jelas tidak membolehkan bertemunya pria dan wanita, malahan masing-masing harus terpisah. Namun demikian, syara’ telah menjelaskan hukum yang khusus menyangkut masing-masing urusan pria dan wanita, di samping hukum yang menyangkut keduanya. Syara’ telah membolehkan dalam masalah interaksi, sperti hubungan bisni/ekonomi, muamalah, dll, baik dari wanita maupun pria tanpa adanya perbedaan seperti halnya syara’ telah membolehkan bagi keduanya melakukan aktivitas jual-beli, sewa menyewa, wakalah (pemberian kuasa), hibah, syuf’ah/prioritas membeli, wakaf, syirkah, wasiat, dan hiwalah/pengaliahn piutang; masing-masing dibolehkan untuk memiliki apa yang diinginkannya, serta mengembangkan miliknya, menuntut ilmu, ketreampilan dalam industri, termasuk mengajar.
Syara’ juga telah mewajibkan jihad bagi laki-laki dan membolehkannya untuk wanita, mewajibkan shalat Jum’at bagi laki-laki dan membolehkannya bagi wanita, sunah shalat berjamaah bagi laki-laki dan membolehkannya bagi wanita, mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah dan mubah bagi wanita, mewajibkan haji bagi laki-laki sementara wajibnya atas wanita terikat dengan syarat adanya mahram atau sekelompok wanita. Syara’ melarang wanita menjadi penguasa (khalifah, muawin, dll) dan membolehkannya bagi laki-laki. Syara’ mewajibkan wanita berjilbab dan laki-laki tidak. Syara’ menetapkan aurat laki-laki tidak sama dengan aurat wanita. Syara’ tidak membolehkan kesaksian wanita dalam urusan jinayat (pidana) dan mebolehkannya dalam perkara huquq dengan ketentuan kesaksian dua wanita sebanding dengan satu laki-laki. Syara membolehkan baik laki-laki maupun wanita, masing-masing untuk berjalan-jalan, melihat pemandangan, berbicara, mengucapkan selamat, bermain, berlari, dan segala sesuatu yang termasuk hal-hal umum yang menyangkut pria dan wanita.
Hukum-hukum yang disebutkan di atas, pada kenyataannya diperuntukkan bagi kehidupan bersifat umum. Apabila tidak dapat dihindari bertemunya pria dan wanita, seperti dalam bisni dan muamalah lainnya maka dia dibolehkan bertemu dengan laki-laki untuk tujuan tersebut. Sebab dengan dibolehkannya jual-beli dan muamalah lainnya itu berarti dibolehkan juga untuk berkumpul, karena dalil tentang kebolehan (jual beli dan muamalah lainnya itu) mencakup pertemuan keduanya selama kebolehan itu bersifat umum. Hal ini tidak tremasuk kategori berikhtilath atau disebut sebagai ikhtilath yang dibolehkan syara’.
Berdasarkan hal inilah, maka pertemuan (berkumpulnya) pria dan wanitadalam kehidupan yang bersifat khusus mutlak diharamkan, baik pertemuan itu didapati ikhtilath (interaksi) ataupun tidak, kecuali hal-hal yang nash syara’ telah membolehkannya, baik berupa perbuatan mubah, wajib, atau sunnah, seperti halnya silaturahmi atau pertemuan antarkeluarga mahram. Adapun dalam kehidupan yang bersifat umum, maka pertemuan (berkumpulnya) pria dan wanita untuk melakukan suatu hal yang dibolehkan syara’ maka diperbolehkan, seperti dalam kegiatan perdagangan, pertanian, industri, serta sejenisnya. hal tersebut diperbolehkan sekalipun di dalamnya terjadi ikhtilath, yaitu berkumpulnya pria dan wanita dalam keadaan bercampur baur dan berinteraksi, karena dibolehkan dalam hal-hal semacam ini berarti dibolehkannya pertemuan pria dan wanita untuk tujuan tersebut atau disebabkan oleh hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya pertemua pria dan wanita. Oleh karena itu, dalil yang membolehkan aktivitas tersebut di atas merupakan dalil pula untuk membolehkan bercampurnya pria dan wanita. Adapun apabial terdapat suatu kegiatan yang diharamkan syara’, seperti judi atau sesuatu yang tidak mengahruskan adanya pertemuan pria dan wanita, seperti berjalan-jalan dan bermain-main, maka pertemuan itu adalah berdosa, baik terjadi interaksi diantara mereka atau tidak. Sebab pertemuan dalam kedaan tersebut berdosa berdasarkan dalil-dalil umum yang mengharamkan adanya pertemuan antara pria dan wanita. Dengan demikian terjadinya pertemuan merupakan dosa sebab tidak ada dalil yang mengecualikan dari ketentuan tersebut, seperti yang terjadi pada jual-beli.
Jadi, semua bentuk pertemuan pria dan wanita adalah berdosa, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya pertemuan tersebut. Maka dalil tersebut tidak berlaku dalam kehidupan umum dan tidak berlaku dalam kehidupan khusus secara mutlak kecuali dalam keadaan tertentu yang menurut syara’ dibolehkan.

Hijab syar’i adalah pelindung bukan penghias. Semakin kita menghiasi diri kita, semakin kita berusaha menarik simpati orang agar seluruh mata memandang kearah kita, semakin kita mengurangi esensi hijab sebenarnya. Semoga kita selalu berada dalam naungan- Nya dan senantiasa taat kepada-Nya sebagai wujud rasa syukur kita ke hadirat Illahi Rabbi atas segala yang sudah diberikan kepada kita semua.
       i.       Berdasarkan dalil-dali Al-Qur’an
1.    QS. Al-Ahzab:59
“Hai nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”
2.  Al-Ahzab:33
“Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rosul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
3.    An-Nuur:31
“Dan katakanlah pada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakan perhiasannya (Auratnya), kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…..”
Maka sekali-kali, janganlah seorang juapun diantara kamu memperlihatkan perhiasanmu, berhias di depan orang-orang yang bukan makhrommu serta memperlihatkan keelokkan rupamu yang hanya penghias jasadmu belaka. Dan ketahuilah olehmu… bawasannya di negeri akhirat kelak, sesorang muslimmah yang dengan rupa seadanya di dunia sedang mereka adalah orang-orang yang shalihah.
         ii.   Berdasarkan sunnah
1.    “Ada dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya: suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya, dan wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang baik karena tipis, atau pendek yang tidak menutup semua auratnya), mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang), kepalanya seperti punuk unta yang berpunuk dua mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya padahal bau surga itu akan didapati dari sekian dan sekian (perjalanan 500 th)” (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311, Imam Malik 1421)
2.    “Wanita itu adalah aurat, sedang ia keluar akan dibuat indah oleh syetan” (HR. Tirmidzi 1093, Ibnu Habban dan At-Thabrani dalam kitab mu’jmul kabir)
3.    “Ummu Salamah berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana wanita berbuat dengan pakaiannya yang menjulur kebawah?” Beliau bersabda: “Hendaklah mereka memanjangkan satu jengkal”, lalu ia bertanya lagi: “Bagaimana bila masih terbuka kakinya?” Beliau menjawab: “Hendaknya menambah satu hasta, dan tidak boleh lebih” (HR. Tirmidzi 653)
4.    Kisah wanita yang akan berangkat menunaikan shalat “ied, sedang ia tidak memiliki jibab, maka Rasulullah SAW memerintahkan: “Hendaklah saudarinya meminjaminya jilbab untuknya” (HR. Bukhori no 318)
E.   Pacaran dan Persahabatan
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pacaran kini sudah menjadi hal yang biasa di tengah - tengah kalangan masyarakat Indonesia khususnya. Masyarakat tidak menyadari bahwa pacaran yang dilakukan oleh anak muda zaman sekarang sudah sangat jauh dari kebenaran akhlak seorang muslim yang sebenarnya. Mungkin hal ini dipicu karena kisah - kisah roman yang beredar bebas di media - media, satu contoh televisi. Di sana hampir 60 % dari keseluruhan tayangan yang ada adalah seputar kisah  roman. Kalau kita tinjau kembali, pacaran itu sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan barat yang sangat tidak sesuai dengan budaya ketimuran. 
Apa pandangan islam terhadap pacaran? Allah telah berfirman:
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Israa’:32)
Kutipan ayat ini menunjukkan bahwa Allah melarang dengan sangat bahwa tidak boleh berzina, mendekati nya saja sudah dilarang apalagi melakukan nya. Terus bagaimana dengan pacaran? “kita bisa jaga diri kok, kan enggak ngapa-ngapain, masih ikut aturan dan pacaran kita sehat kok" Ketahuilah bahwa tipu daya dan hasutan setan itu sangat halus.
Kalau kamu mengetahui bahwa merokok adalah jembatan menuju narkoba sama halnya dengan pacaran yang menjadi jembatan menuju zina. Banyak dalil-dalil lain yang bisa dijadikan hukum bahwa pacaran itu haram.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya”. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)
Hadits ini mengatakan dengan jelas bahwa dilarang berduaan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahromnya. Pacaran yang harusnya di jauhi sekarang malah banyak sekali yang mengumbar kemesraan berduaan meskipun belum halal.
Entah dari mana dan apa yang mereka bangga kan tapi yang jelas pacaran akan merusak moral anak muda Bangsa Indonesia yang ditangannyalah ke depan Indonesia mau seperti apa. Tidak jarang juga wanita-wanita berhijab, melakukan pacaran bahkan secara terang-terangan.
Cinta? Cinta kepada Allah lah yang harus kamu dahulukan, karena cinta-Nya Allah kepada kita para makhluk-Nya kita bisa hidup dan bernafas dengan mudah.
Banyak berita tentang penemuan bayi di jalannan, di kardus,dan ditempat-tempat lainnya yang tidak lazim sebenarnya bayi berada di sana. Ini lah akhir dari hubungan pacaran yang telah diharamkan oleh agama Islam.
Diawali dengan chatingan, lanjut ketemuan, makan bareng, gandengan tangan, dan seterusnya hingga akhirnya kebablasan dalam berhubungan. Jika sudah seperti ini maka, pihak perempuan lah yang yang sangat dirugikan.
Bukan hanya karena malu saja tapi juga, masa depan yang suram, kalau sudah seperti ini gimana lagi? Siapa yang mau menikahi perempuan pezina? Laki-laki yang tidak bertanggung jawab pun menghilang entah kemana. Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan.
Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nuur:30)

Dalam lanjutan ayat ini Allah juga berfirman:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. (QS. An Nuur:31).
Maka dari itu Allah juga memerintahkan wanita untuk menutup auratnya dihadapan yang bukan makhromnya.
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al Ahzab: 59)
Buat kalian yang masih pacaran segeralah putuskan hubungan yang tidak ada gunanya, ini toh kalau memang jodoh pasti juga bertemu. Untuk itu teruslah perbaiki diri, jika kamu ingin mendapatkan pasangan yang baik pula. Allah telah berjanji
 Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik da laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik pula…..” (QS. An-Nuur:26)
“JANGAN JATUH CITA TAPI BANGUN CINTA"
F.    Ketentuan Pergaulan Laki-laki dan Wanita Dalam Islam
a.    Keharusan bagi pria dan wanita untuk menundukkan pandangan, kecuali dalam adanya tujuan meminang, proses belajar mengajar, pengobatan, proses peradilan dalam rangka memberikan kesaksian, dll.
b.    Keharusan bagi wanita untuk mengenakan busana muslimah, yaitu pakian yang menutupi seluruh badannya kecuali muka dan telapak tangan sesuai ketentuan syar’i.
c.    Tidak dibolehkan bagi wanita bepergian sendirian tanpa mahram sejauh perjalanan sehari semalam, Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali disertai mahramnya”.
d.    Tidak dibolehkan untuk berkhalwat (bersepi-sepi), kecuali adanya mahram bagi wanita tersebut, Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahram wanita tersebut”.
e.    Bagi seorang wanita yang sudah bersuami maka dilarang seorang istri keluar rumah tanpa seizin suaminya.
f.     Adanya pemisah kehidupan pria dan wanita dan tidak bercampur baur, sebagaimana halnya shaf-shaf  wanita dalam shalat, yaitu terpisah dengan shaf pria.
g.    Larangan untuk bertabaruj, yaitu memperlihatkan perhiasan dan kecantikannya pada pria yang bukan mahramnya.
h.    Anjuran Islam untuk segera menikah bagi yang mampu, bagi yang tidak mampu, maka diperintahkan untuk Iffah (menjaga kesucian diri).
i.      Islam memerintahkan pria dan wanita untuk bertaqwa kepada Allah SWT. sebagai kendali internal.
j.      Islam memerintahkan untuk menjauhi tempat-tempat yang diharamkan dan memungkinkan terjadi perkara yang haram


~JAZAAKALLAH KHAIR~

Komentar

  1. Casinos Near Casinos Near Casinos in Las Vegas
    Find Casinos Near Casinos in 강원도 출장샵 Las Vegas, 하남 출장마사지 NV, United States and find your way around the casino, find 경상북도 출장안마 where everything is located with 통영 출장안마 Mapyro. 제주 출장안마

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kultum Tentang Menuntut Ilmu

MAKNA, HUKUM, DAN MANFA’AT HIJAB, SERTA AZAB BAGI PEREMPUAN YANG TIDAK MEMAKAINYA